MABADI KHAIRO UMMAH (1)
Oleh KH. Abdul Muchit Muzadi (1)
Pengantar
Pada kurun waktu antara tahun
1935-1940, Almarhum Kyai Haji Machfoedz Shiddiq, ketika beliau menjabat Voorzitter Hoorfdbestuur Nahdlatul Ulama
(Ketua PBNU), melancarkan kampanye (anjuran yang dilakukan dengan serius, terus
menerus dan terarah khusus) untuk terwujudnya pelaksanaan tiga akhlaq oleh kaum muslimin umumnya dan
kaum nahdliyyin pada khususnya.
Tiga butir akhlaq ini dipilih dengan
pertimbangan bahwa ketiga-tiganya sangat strategis sebagai landasan pertama
bagi terbinanya “Ummat Terbaik” (khaira
ummah = خير أمة ). landasan pertama yang sesudah itu harus
dikembangkan dengan akhlaq-akhlaq karimah yang lain lagi, dengan
tindakan-tindakan yang lain lagi. Tidak berhenti sampai di situ.
Oleh karena itu tiga butir akhlaq yang
beliau kampanyekan itu diberi nama/sebutan “MABADI KHAIRO UMMAH” (مبادئ خير أمة ). Mabadi
- مبادئ - artinya
dasar-dasar permulaan. Sedang khairo ummah - خير أمة -
artinya umat terbaik. Kata khairo ummah tidak dibaca khairi ummah.
Dengan maksud meniru persis dengan bunyi ayat al-Qur’an:
كنتم خير أمة أخرجت للناس
“kuntum khairo ummatin ukhrijat linnas…”
Tiga butir akhlaq yang dipilih menjadi
dasar-dasar permulaan itu adalah;
Pertama : As-Shidqu ( الصدق) yang mengandung arti: kebenaran, kejujuran dan kesungguhan.
Kedua : al-Waffa-u bil’ahdi (الوفاء بالعهد )
yang mengandung arti tepat janji, disiplin dan sikap konsisten ( teguh pada
pendirian yang sudah dipilih)
Ketiga : at- Ta’aawunu ( التعاون) yang mengandung arti tolong menolong, gotong royong dan solidaritas (setiakawan)
Sudah tentu, pemilihan
terhadap tiga butir akhlaq ini sebagai mabadi (dasar-dasar permulaan) didasarkan atas hasil pemikiran dan
perenungan yang mendalam.
Pendahuluan
I.
Mengungkap Kembali Kenangan Lama
1.
Lebih dari 40 tahun yang lalu, sebelum tahun 1940-an,
keketuaan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dijabat oleh Almarhum Kyai Haji
Machfoedz Shiddiq (putera KH. Muhammad Shiddiq Jember). Bersama-sama dengan
tokoh muda (generasi kedua) Nahdlatul Ulama seperti KH. Thahir Bakri, KH.
Abdullah Oebaid, KH. A. Wahid Hasyim dan lain-lain. Di bawah bimbingan para
sesepuh seperti KH. M. Hasyim Asy’ari, KH.A. Wahab Chasbullah, KH. R. Asnawi,
KH. Bisri Syansuri, dan lain tokoh generasi pertama Nahdlatul Ulama, beliau
berhasil membawa Nahdlatul Ulama kepada kedudukan yang sangat mantap ke dalam
dan ke luar.
2.
Ke dalam, pada zaman itu ternyata:
a.
Perkembangan Nahdlatul Ulama meluas ke seluruh wilayah
Indonesia, bahkan di Singapura
berdiri cabang Istimewa.
b.
Madrasah-madrasahnya berkembang pesat, baik jumlah
maupun jenis dan mutunya.
c.
Kaum mudanya, wanita dan anak-anaknya, makin aktif
mengikuti dan menyemarakkan Nahdlatul Ulama dengan Ansor, Athfal dan
muslimatnya.
d.
Pengurusan organisasi makin tertib, juga
administrasinya.
e.
Pembinaan akhlaq
anggauta semakin mantap dan terarah.
3.
Ke luar, Nahdlatul Ulama (karena kekuatannya di dalam)
diakui kekuatan dan kemampuannya oleh organisasi-organisasi lain dan juga oleh
pemerinatah jajahan zaman itu. Pernah Nahdlatul Ulama mendapat kepercayaan
menduduki jabatan ketua MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia), gabungan
organisasi-organisasi Islam (termasuk partai-partai politiknya). Pada jabatan
ini, Nahdlatul Ulama menampilkan tokoh mudanya yaitu KH. Wahid Hasyim (pada
usia sekitar 30-an tahun). Jabatan ini tidak dirangkap oleh KH. Machfoedz
Shidiq sendiri karena tugas sebagai ketua PBNU bukanlah tugas yang dapat
dianggap ringan yang dapat dirangkap apalagi dijadikan batu loncatan untuk
mendapat jabatan lain.
II.
Pembinaan Karakter Secara Terarah
1.
Kalau
diperbandingkan dengan keadaan Nahdlatul Ulama sekarang maka ternyata;
a.
Bahwa jumlah
anggauta Nahdlatul Ulama pada waktu itu lebih kecil dari pada sekarang.
b.
Bahwa fasilitas atau sarana-sarana untuk melaksanakan
tugas-tugas, jauh lebih sederhana daripada sekarang.
c.
Bahwa hambatan yang datang dari ”yang lazim disebut kaum
intelektual nasionalis,” kaum priyayi
maupun dari pemerintah jajahan, lebih besar dari pada sekarang.
d.
Bahwa tingkat intelektual para anggauta sendiri, jauh
lebih rendah daripada sekarang.
e.
Dan masih macam-macam kelemahan lain.
2.
Namun ternyata Nahdlatul Ulama sebagai wadah perjuangan pada
zaman itu kedudukannya lebih kokoh, kesetiaan para anggauta terhadapanya sangat
kuat dan murni. Warga Nahdlatul Ulama (terutama para pemimpinnya) lebih
banyak ”memberi” kepada Nahdlatul Ulama daripada ”meminta”
sesuatu daripdanya. Perbedaan pendapat memenag selalu ada di mana saja. Tetapi,
pada zaman itu perbedaan pendapat (katakanlah pertentangan) lebih banyak
disebabkan karena ”pendirian” bukan karena ”kepentingan”
3.
Kokohnya Nahdlatul
Ulama pada zaman itu, mungkin disebabkan oleh keluguan rata-rata para warganya,
kepolosan dan keikhlasannya yang masih tinggi. Tetapi jelas di samping faktor itu, terdapat
faktor-faktor lain di antaranya;
a.
Mekanisme organisasi
lebih berfungsi dari pada sekarang
b.
Pengelolaan administrasi
seperti pendaftaran anggauta, pembukuan keuangan dan inventaris, lebih tertib
dari pada sakarang meskipun dengan cara yang sederhana.
c.
Sistem pembinaan
karakter, akhlaq, tingkah laku dan sikap ummat pada umumnya dan kaum Nahdliyyin pada khusunya lebih intensif
dan terarah dari pada sekarang.
4.
Yang sangat menarik, di dalam sistem pembinaan ini
adalah dilancarkannya ”kampanye” (anjuran yang serius, terus menerus dengan
pengarahan khusus) pada zaman itu, tentang apa yang kemudian disebut dengn
”Mabadi Khairo Ummah” (مبادئ خير أمة ) yang berarti
”dasar-dasar permulaan bagi pembinaan Ummat Terbaik.” Alm. KH. Machfoedz Shiddiq sendiri sebagai Ketua Umum PB
Tanfidziyah aktif mentablighkan mabadi itu dan semua muballighin, dengan segala
sarana, segala jalur dan segala kesempatan dipergunakan untuk mentablighkannya,
sehingga umat menjadi tertarik, mengerti dan bersedia melaksanakannya.
5.
Mabadi Khairo Ummah”
(مبادئ خير أمة ) itu berisi tiga
butir akhlaq, yaitu:
Pertama : As-Shidqu ( الصدق ) yang mengandung
arti: kebenaran, kejujuran dan kesungguhan.
Kedua : Al-waffa-u
bil’ahdi ( الوفاء بالعهد )
yang mengandung arti tepat janji,
disiplin dan sikap konsisten (teguh pada pendirian yang sudah dipilih)
Ketiga : At- ta’aawunu
( التعاون) yang mengandung
arti tolong menolong, gotong royong dan solidaritas (setiakawan)
6.
Masalah pembinaan akhlaq, karakter, sikap mental dan
tingkah laku adalah syarat mutlak bagi pembinaan umat seutuhnya. Sebelum akhlaq
atau sikap mental terbina dengan baik, maka segala program pembinaan, perbaikan
dan pembangunan di berbagai bidang yang lain akan sulit terlaksana. Pengalaman menunjukkan betapa sulitnya
mengajak para petani memupuk tanahnya sebelum ”sikap mentalnya” dipersiapkan
untuk itu. Apalagi mengenai hal-hal yang lebih besar, seperti pembinaan
masyarakat Islam, pembinaan ekonomi kaum muslimin, pembinaan pendidikan,
peningkatan dakwah dan sebagainya. Tentu semuanya memerlukan kesiapan dan
pembinaan mental/akhlaq. Dari sudut inilah, menjadi jelas betapa tepatnya
hadist hadist rasulullah Saw.
الا ان فى الجسد مضغة اذاصلحت صلح الجسد كله واذا فسدت فسد
الجسد كله. الا وهى القلب
”perhatikanlah, sungguh pada jasad
terdapat segumpal darah, kalau ia baik, maka menjadi baik seluruh badan kalau
ia rusak, maka rusaklah seluruh badan. Perhatikanlah itulah dia hati.”
انما
بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
“aku diutus oleh Allah hanyalah
untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”
III.
Pemilihan Butir-Butir Mabadi Khairo Unnah
1.
Pemilihan terhadap tiga butir akhlaq tersebut di
atas menjadi “dasar-dasar permulaan bagi pembinaan umat terbaik” tentu sudah
melalui pertimbangan, pemikiran dan perenungan yang mendalam dan meluas,
meskipun masih bisa saja orang memperdebatkannya, apakah sudah paling tepat
ataukah masih bisa dicari paling tepat lagi. Seyogyanya kita tidak terlalu
bernafsu untuk berdebat. Sesuatu yang sudah ada, sudah dirumusakan, kalau
dimiliki bersama, disebarluaskan bersama, diusahakan pelaksanaannya
bersama-sama, jauh lebih baik daripada yang masih harus dicari-cari, masih
harus diperdebatkan, yang masih lama harus ditunggu keputusannya. Bahkan
mungkin tidak pernah ada kesepakatan.
2.
Tiga butir akhlaq
termaksud, baru merupakan “mabadi” dasar-dasar permulaan, langkah langkah
pertama bagi pembinaan umat terbaik, yang masih harus disambung dengan
langkah-langkah lanjutan yang masih panjang sekali. Tiga butir itu baik satu
per satu maupun bersama-sama, harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat
dirangkaikan dengan langkah kanjutannya.
3.
Diibaratkan sebidang tanah pertanian, maka dengan tiga
butir “mabadi” ini sudah akan terwujud syarat-syarat yang diperlukan “tanah
yang baik” yang dapat menumbuhkan tanaman-tanaman yang berguna, yaitu
syarat-syarat:
a.
Kemurnian Tanah, beban dari zat-zat yang negatif yang
dapat merusak atau menghambat fungsi tanah (dalam hal ini dengan as-shidqu = kebenaran, kejujuran, kesungguhan)
b.
Keterikatan zat-zat tanah pada fungsinya masing-masing, tidak ada yang melalaikan fungsinya (dalam hal ini
dengan al-wafa-u bil ’ahdi = tepat janji, disiplin pada fungsi.
c.
Keterpaduan dan kerjasama semua zat tanah, tidak hanya mementingkan fungsi dan kepentingannya sendiri tetapi selalu
bantu membantu (dalam hal ini dengan at-ta’awun)
4.
Diibaratkan sebuah kendaraan, maka dengan tiga butir
“mabadi” itu, maka terpenuhi syarat-syarat bagi termanfaatkannya kendaraan itu
dengan baik, yaitu:
a.
Jalan yang benar,
bukan jalan yang salah arah, bukan jalan buntu, bukan pula jalan yang sesat.
b.
Perakitan (assembling) yang benar, sehingga tiap
onderdil dapat bekerja menurut fungsinya masing-masing.
c.
Stelan yang benar, sehingga semua onderdil secara
keseluruhan dapat bekerjasama sebaik-baiknya sehingga kendaraan dapat berjalan
dan bermanfaat dengan lancar.
Keterangan tersebut di atas didapat dari hasil pengamatan
penulis makalah ini sendiri yang ketika itu (th 1940 an) masih berusia (kurang
lebih 16 tahun) dan dikuatkan dengan wawancara antara penulis dengan
Al-Mukarram Bapak KH. Aziz Diyar, ketika penulis menghadap beliau pada
pertengahan atahun 1975 di rumah beliau, Grogol Jakarta. Bapak Aziz Diyer
pernah bertahun-tahun menjadi Sekretaris Jendral Nahdlatul Ulama, ketika ketua
umumnya adalah Alm. KH. Machfoedz Shiddiq dan beberapa waktu sesudahnya.
Penulis makalah ini, dengan segala kelemahannya
memberanikan diri mengungkap dan mengembangkan apa yang pernah dialami dan diamati
pada zaman sekitar 40 tahunan yang lalu itu, dengan harapan akan masih ada
manfaatnya bagi generasi sekarang, karena materinya masih tetap relevan (cocok
dihubungkan) dengn situasi di zaman ini.
Kepada al-Mukarraom para Ulama sepuh yang sama-sama mengamati
anjuran mabadi khairo ummah ini, dimohon kesediaan memeberikan koreksi dan
teguran, kalau dalam makalah ini ada kekeliruan/kekhilafan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar