Jumat, 07 Desember 2012

KHOTBAH IFTITAH KH. HASYIM ASYARI

PEMBUKAAN MUKTAMAR XVII
NAHDLATUL ULAMA
MADIUN 1947

            Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

            Hanya keharibaan-Mu, Ya Allah, kami memuji. Wahai dzat yang merendahkan dan menghinakan orang-orang yang congkak dan sombong yang telah meruntuhkan tahta firaun dan para kaisar yang sombong dan congkak.

            Tak seorang pun yang mampu mencegah apa yang engkau berikan dan tak ada seorang pun yang mampu meberikan apa yang tidak engkau kehendaki untuk diberikan. Maha Suci , engkau ya Allah dan Maha Unggul.

            Alangkah luas rahmat-Mu dan betapa agung kedermawanan-Mu, walau kebanyakan manusia ingkar pada-Mu dan tidak percaya akan wujud-Mu serta benci pada-Mu, meski demikian, Engakau tetap melimpahkan kenikmatan-Mu pada mereka. Engkau beberkan rizki serta karunia-Mu dan engkau panjangkan hidup mereka sepanjang masa.

            Tambahan rahmat dan keagungan semoga tetap Engkau limpahkan pada Nabi-Mu yang Ummi Muhammad SAW. Yang telah Engkau perintahkan untuk membeberkan sayap rahmat dan salamnya kepada orang-orang mukmin yang mengikutinya. Yang telah engkau tawarkan padanya gunung uhud untuk dirubah menjadi emas namun ditolaknya dan beliau memilih hidup zuhud duniawi. Walau demikian engkau tetap menjadikan beliau unggul melebihi dunia dan isinya.

            Sementara itu keagungan budi pekertinya telah meluluh lantakkan hidup oang-orang yang sombong dan pendendam.

Semoga keselamatan dan kedamaian senantiasan menyertai Nabi besar Muhammad saw. Ahli abit, beserta sahabat-sahabat beliau dihari kiamat, Wa ba’du,

Saudara-saudara, peserta muktamar yang berbahagia adalah suatu kewajiban dan keharusan bagi kita untuk mengatur kehidupan kita serta mewujudkan dan merealisasikan tujuan yang mulia dengan meperlajari waktu demi waktu di mana kita telah melangkah dalam perjuangan dan perlawanan kita (dalam melawan kebatilan).

Boleh kita merasa senang bila apa yang telah kita kerjakan sesuai dengan apa yang telah kiat canangkan. Namun kita harus prihatin serta menjadikannya sebagai pelajaran dan peringatan bila kegagalan dan kerugian yang kita peroleh.

Hari ini kita sedang bermuktamar, marilah kita jadikan perbandingan dengan muktamar terdahulu. Selanjutnya kita koreksi diri kita sendiri termasuk diantara golongan manakah diantara pernyataan yang disabdakan Nabi Muhamamd, yaitu :  “barang siapa yang hari ini amal perbuatannya lebih baik dibanding hari kemaren maka ia tergolong orang yang untung, dan barang siapa yang amal perbuatannya hari ini sama dengan hari kemaren (tidak ada peningkatan) maka ia tergolong orang yang rugi. Dan barang siapa yanga amal perbuatannya lebih jelek dibanding orng kemaren maka tergolong orang yang rusak.”

Pertama:”marilah kita pelajri poin ini dari dimensi spirit agama, kita kan mengetahui ternyata kondisi keagamaan kemaren justru lebih baik dibanding hari ini. Pada tahun-tahun yang lalu perhatian begitu besar terhadap urusan keagamaan, namun kemudian akhir-akhir ini intensitas dan kepedulian kita terhadap masalah tersebut semakin melemah bahkan kini hampir tak terdengar lagi gaungnya.

Lembaga-lembaga pendidikan agama sepi, penghuninya yang tinggal paling-paling sekitar sepuluh persen dibanding tahun-tahun yang lalu.

Sekolah-sekolah Islam (madrasah) banyak yang gulung tikar disebabkan oleh sedikitnya animo masyarakat dan sulitnya mencari orang-orang yang betul-betul punya tanggung jawab dan kepedulian yang besar untuk menghidupkannya kembali.

Masjid-masjid dan mushalla begitu menyedihlan kondisinya, karena walau tersebar dimana-mana namun yang tinggi hanya bangunan yang sudah mulai ditinggal jamaah dan crang-crang yang mau merawatnya.

Kedua:”kita pelajari dari dimensi sosial kemasyarakatan. Disini kita juga mendapati kenyataan bahwa ruh agama sudah mulai melemah bahkan terkesan lumpuh dalam kehidupan masyarakat sehingga bekas-bekas ketaatannya sangatlah sedikit sekali.

Persoalan-persoalan yang bernuansa agama akan sulit saudara-saudara temukan dalam masyarakat, seperti apakah sesuatu itu hukumnya halal atau haram. Kemungkaran begitu merajalela diberbagai tempat, baik yang tersembunyi ataupun yang terang-terangan. Seperti minum arak yang merupakan sumber malapetaka sudah tersebar luas di berbagai tempat dan suasana dan bahkan sudah menjadi kebanggaan. Begitupun pergaulan laki-laki dan perempuan yang sudah terkesan melecehkan (hukum agama).

Dengan gamblang mata kita telah menyaksikannya dan dengan jelas telinga kita telah mendengar akan realita ini. Dan tak seorangpun yang nampak memperdulikannya, apakah ini halal (diperbolehkan oleh aturan agama)?. semuanya diam seribu bahasa. Apakah haram? yang mengakibatkan siksa dari Allah dan kehinaan di dunia.

Ada lagi hal yang sangat tercela dan hina melebihi apa yang sudah kami tuturkan di atas, yaitu tersebarnya ajaran-ajaran dan tuntutan yang mengarah dan menggiring pada kekufuran dan pengingkaran (terhadap Allah) dikalangan generasi muda Islam, baik didesa maupun dikota-kota besar.

Telah tersebarnya ajaran historis materialisme sebagai suatu prinsip yang mencanangkan bahwa kebahagiaan di dunia ini hanya bisa diraih dengan materi dan tidak percaya dengan hal-hal yang ghaib. (metafisis, ekstra empiris) serta tidak percaya akan adanya kehidupan setelah mati.

Bahaya laten ini tak mungkin terelakkan lagi bila sudah tertanam dalam hati dan sanubari anak-anak kita, dan yang demikian ini bisa merubah tatanan awal dasar keyakinan mereka terhadap agama Silam yang kita peluk.

Tida daya dan upaya kecuali dari Allah Yang Maha Luhur dan Maha Agung.  Adapun ukhuwah Islamiyah pada saat ini hanyalah merupakan  jargon-jargon yang kosong yang keluar dari mulut orator yang hanya merebak di awang-awang tanpa bisa menyentuh dataran empiris tanpa ada bukti yang kongrit dalam realita.

Ukhuwah Islamiyah seakan-akan telah lenyap dari kehidupan masyarakat dimana seorang muslim yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri terhadap temannya sesama muslim yang telanjang (kelaparan bahkan yang hampir mati karena kelaparan, hatinya sama sekali tidak tergerak mengulurkan pertolongan dan membantu berbuat baik. Dia atau sang Muslim yang menyaksikan ketimpangan sosial tersebut bahkan dia membisu bagaikan membisunya batu dan besi. Tidak cukup hanya dengan membisu, tapi masih ditambah lagi dengan mengomel bahwa penghasilan atau income sekarang lagi seret, kehidupan perekonomian sedang mengalami kemacetan dan kemunduran bahkan dia menuduh ini sebagai akibat dari menjalankan kewajiban agama dan kemasyarakatan. Sedangkan dia sendiri mengetahui bahwa Allah itu Maha Pemberi Rizki, menurunkan rizkinya dengan satu kadar yang sama. Tidak sulit bagi orang yang menjaga dengan baik norma-norma agama (Afif) untuk mendapatkan keutamaan (anugrah, fadhl)dari Allah. Hanya dikarenakan akhla mereka sajalah yang menyebabkan semuanya menjadi sempait dan sulit.

Ketiga; kita tinjau dari dimensi politik. Dalam konstelasi perpolitikan, kita dapati kenyataan bahwa ternyata peranan umat Islam sangat kecil sekali. Jika jiwa keagamaan, dalam dunia politik di Indonesia ini sangat lemah, bahkan akhir-akhair ini bisa dikatakan sudah mati.

Walau demikian, masih ada juga bahaya yang masih besar yaitu dicatutnya label Islam oleh sebagian manusia sebagai kendaraan yang ditunggangi untuk bisa sampai kepada apa yang diinginkannya, baik itu berupa kemaslahatan dari dimensi politik ataupun untuk kepentingan pribadi dengan mengatas namakan politik. Dan akan lebih berbahaya kagi bila masyarakat menganggap mereka sebagai orang Islam (yang taat) atau bahkan memfigurkannya sebagai seorang tokoh, padahal mereka tidak pernah menundukkan kepala mereka (untuk mentaati) pada hal-hal yang pernah diperintahkan oleh Allah dan tidak berusaha menjauhi larangannya. Merekapun tidak pernah menempelkan keningnya (sujud) dilantai masjid, lalu apakah masih dianggap aneh, bila kondisi semacam ini kemudian menyebabkan lemahnya spirit keagamaan dinegara kita, bahkan hampir mati.

Saudara-saudara ulama yang mulia..
Setelah kami jelaskan keterangan tersebut di atas kami ingatkan kepada saudara-saudara sekalian bahwa hidup, matinya gama Islam di Indoneisa ini terletak pada saudara,tergantung pada amal perbuatan saudara serta ketangkasan dan kejelian saudara yang melebihi tindakan orang lain !.

Hari ini, pada saat-saat kesulitan ini, seluruh umat Islam Indonesia tengah mencurahkan pandangan dan perhatiannya kepada saudara-saudara sekalian. Mereka ingin melihat apa yang akan saudara kerjakan demi untuk perbaikan nasib mereka, baik dalam bidang keagamaan ataupun kemasyarakatan. Jika saudara-saudara melaksanakan kewajiban-kewajiban saudara untuk tercapainya tujuan itu sebagaimana Islam telah memerintahkan saudara untuk berbuat demikian, maka saudara-saudara telah mengobati luka mereka, telah dapat menarik dan memperoleh simpati yang sekaligus akan tetap merupakan kepercayaan mereka terhadap saudara dalam :

satu:” sesungguhnya bila amanat Allah yang telah diletakkan pada pundak saudara sekalian sampai disia-siakan, maka umat akan kehilangan kepercayaan mereka terhadap saudara. Sebagaimana lenyapnya kepercayaan mereka dikarenakan sekarang mereka tidak menemukan orang yang yang menunjukkan kepada ada pelindung yang mampu melindungi mereka, juga penanggung yang mau menanggung mereka, ‘pun tidak pelindung yang melindungi mereka, sehingga jadilah keadaaan mereka seperti orang sekarat yang sedang meratap di mana kematian mengancam mereka dari tiap penjuru. Harapan mereka sudah sirna. Kecuali pada saudara sekalian sebagaimana mereka sangat mendambakan pertolongan dari saudara-saudara , apakah saudara akan melaksanakannya.?

Kami tidak mengatakan hal ini secara berlebihan atau hanya sebatas agitasi tak berisis. Tapi semuanya ini merupakan kenyataan yang tampak gamblang bagi mata setiap umat Islam yang mau berfikir.

Dua: demikianlah, kehidupan negara kita senantiasa diancam oleh bahaya-bahaya yang ditimbulkan leh musuh-musuh negara, baik dari luat maupun di dalam negeri dengan segala macam kekuatan, kebencian dan kedengkian. Dengan segala macam rekayasa, usaha dan tipu daya . hal ini dilakukan oleh tokoh-tokoh mereka, baik yang perwira maupun yang bintara. Orang-orang yang sudah dalam barisan (pemberontak) ataupun yang masih bercokol dalam lembaga-lembaga resmi pemerintah (satu tahun kemudian, 1943, betul-betul terjadi pemberontakan PKI di Madiun. Pen)

Firman Allah: “ Mereka (musyrikin, munafiqin) bereka daya (makar, nipu) untuk mnghacurkan Islam. Dan Allahpun membalas tipu daya mereka. Sesungguhnya hanya Allah-lah yang paling lihai diantara orang-orang yang berbuat makar”.

Kepada saudara-saudaralah wahai harapan umat Islam Indonesia, kami tumpukan harapan yang tiada duanya.  Kepada saudara-saudaralah wahai pemegang panji-panjai amanat Allah, kami canangkan panggilan. Dan dari saudara-saudara pulal kami mohonkan pertolongan dan keselarasan umat. Seabab hampir semua telah mandeg dari berusaha, sebagaimana mandegnya tentara Thaluth ketika baru saja menyeberangi sungai sambil berkata: “tak ada kemampuan bagi kita untuk menghadapi Thaluth dan bala tentaranya.”

Bangkitlah wahai saudara-saudaraku Ulama!

Kuatkanlah barisan kaian, kerahkanlah segala potensi dan kekuatan yang ada pada diri kalian, tetaplah pada keteguhan dan percayalah bahwa:

“tidak sedikit golongan yang kecil dapat mengalahkan golongan yang besar dengan izin Allah dan Allah selalu menyertai orang-orang yang sabar”

Demikianlah, kami memohonkan ampun kehadirat Allah, baik untuk diri kami sendiri ataupun untuk saudara-saudara sekalian .
Wassalamualikaum wr. Wb.

                                                Malam Ahad,  5   Rajab 1366 H
                                                                          24 Mei 1947 M 



(Diambil dari Tsalatsu Munjiyyat Terjemahan oleh H.M. Ishom Hadzik , S.H)

AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH

AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
A.     Mukadimah
NU adalah organisasi yang sudah  tua, tetapi hingga saat ini tetap menjadi organisasi besar. Dibanding 30 atau bahkan 40 tahun yang lalu organisasi yang dipimpin para ulama ini makin besar. Pengikutnya tetap atau bahkan makin besar. Kenyataan ini agak mengherankan, karena ada beberapa organisasi kemasyarakatan yang dipimpin intelektual berpendidikan barat, menerapkan prinsip-prinsip manajemen  modern tetapi tidak berhasil membesarkan  organisasinya.  Oleh sebab itu sering kali mereka malu sendiri dengan besarnya pengikut yang diklaimnya sendiri. Bahkan beberapa organisasi Islam yang pernah besar pada masa pergerakan saat ini telah mati.
Ini sungguh menakjubkan karena NU selama ini dianggap organisasi orang kampung, tradisional,  dan kurang berpendidikan, tetapi bisa bertahan bahkan makin berkembang. Ini menunjukkan NU memiliki kemampuan bertahan sekaligus kemampuan berkembang yang teruji. Kemampuan tersebut bisa dijaga, ternyata karena  NU memiliki tradisi    sangat kuat yang menjadi sendi dan mengakar  dalam kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan jama’ahnya serta memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai budaya masyarakat setempat.  Tradisi yang menjadi sendi kehidupan   NU itu tercakup dalam  Ajaran  Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Seperti diketahui Nahdlatul Ulama  sejak awal berdirinya dengan tegas menganut paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja). Di dalam ajaran Islam ala Aswaja ini terkandung  seperangkat keyakinan tentang  akidah, fiqh dan tasawuf berdasar mazhab yang telah disepakati. Aswaja  bertujuan untuk menerapkan maqosidus syari’ah yang dirumuskan dalam kulliyat al khams yaitu hifdz al-din, hifdzun nafs, hifdz al-mal, hifdzu al-aql, dan hifdz l-irdl wa al-nasl.
Nilai-nilai Aswaja itu kemudian dikristalisasikan dalam Khitthah Nahdlatul Ulama atau khittah nahdliyyah.  Khittah Nahdliyah dirumuskan menjadi  pedoman dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Cara berpikir sesuai dengan khittah itu dirumuskan dalam bentuk Fikrah Nahdliyah yaitu berpikir sesuai pedoman mazhab, yang bersumber  al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Cara berpikir ini menggabungkan antara metode naqli dan aqli serta waqi’i. Cara Bersikap dirumuskan dalam ukhuwah yang memiliki nilai tawasuth, tawazun, i’tidal dan seterusnya. Sehingga muncul ukhuwah nahdliyah, ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah basyariyah. Cara berperilaku / Cara bertindak dirumuskan dalam Mabadi Khoiro Ummah yang berisi nilai dan langkah kejujuran, amanah, tepat janji, adil dan istiqomah. Ini yang menjadi dasar kerangka strategis untuk  membentuk masyarakat yang diidamkan.
Salah satu hal yang pertama-tama perlu di ketahui, dipahami  oleh kader dan warga NU adalah sejarah, paham dan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah  Pemahaman tentang sejarah, paham dan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah sangat penting bagi kader (pengurus) NU dan warga NU. Karena   Aswaja merupakan  fundamen  NU dalam membangun gerakan dan berkhidmat kepada umat. Dengan sendirinya  seluruh metode berpikir (manhaj al-fikri) dan metode pergerakan (manhaj al-haraki) organisasi NU harus merujuk kepada konsep dan semangat Aswaja. 
Pentingnya peningkatan pengetahuan dan pemahaman kader tentang  Aswaja, karena kenyataan menunjukkan banyak kader (pengurus) dan warga NU,   yang  belum memahami dengan  benar  doktrin Islam tersebut. Sehingga saat diaktualisasikan dalam praktik kehidupan sehari-hari di kalangan nahdliyyin sendiri, keistimewaan (mazaya) ajaran Aswaja ini  tidak tampak ke permukaan. Menjadi wajar kalau kemudian  kalau muncul kesan bahwa Aswaja ini  merupakan doktrin yang ketinggalan zaman. Paham ini  sebenarnya  sangat tepat dijadikan   ideologi umat di zaman modern ini. 

B.     Pengertian Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Eksistensinya dalam Islam

1.      Pengertian Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Ø  Perkataan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (أهل السنة والجماعة ) secara bahasa terdiri dari tiga kata: pertama  perkataan ahlun (أهل) artinya keluarga, as-sunnah (السنة) artinya semua ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi, dan al-Jamaah (الجماعة) artinya kelompok mayoritas dalam golongan Islam.
Ø  Pengertian secara istilahi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah golongan terbesar umat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid dan fiqih dengan mengutamakan dalil Al-Qur’an  dan Al-Hadits daripada dalil akal.
Ø  Tegasnya, ASWAJA itu seperti disabdakan Rasulullah SAW ketika menjawab pertanyaan Shahabat tentang ASWAJA, Rasulullah SAW menjawab: (ما أنا عليه وأصحابه ) Mereka itu yang bersamaku dan shahabat-shahabatku.

2.      Tinjauan Historis Aswaja

Ø  Ahlusuunnah wal Jamaah sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW seperti disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra: ”Umat Yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan, umat Nashrani akan terpecah  menjadi 72 golongan, dan umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua golongan tersebut masuk neraka, kecuali satu golongan, yaitu orang-orang yang mengikuti sunnah Rasulullah dan para shahabatnya.
Ø  Ahlus Sunnah wal Jama’ah bukan sebuah aliran yang baru timbul sebagai reaksi munculnya aliran-aliran dalam Islam seperti Syiah, Khawarij, Mu’tazilah, dan sebagainya. Ahlussunnah wal-Jamaah sudah ada sebelum aliran-aliran itu muncul. Justru kemunculan aliran-aliran tersebut sebagai pengganggu kemurnian Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Ø  Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai firqah diwakili oleh tiga kelompok umat, yaitu:
-          Kelompok Ahlu al-Atsar, mereka pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal. Mereka pada umumnya pendukung setia pemikiran Ibn Taimiyah dan ibn Al-Qoyyim Al-Jauziyah.
-          Kelompok Al-Asy’ariah, pengikut Abu Hasan Al-Asy’ari, yang merupakan mayoritas di kalangan umat Islam dewasa ini.
-          Kelompok Al-Maturidiyah, pengikuti Imam Abu Manshur Al-Maturidi.

Ø  Dalam Qonun Asasi NU dan keputusan-keputusan resmi, seperti Muktamar dan Konbes, NU telah menetapkan dalam aqidah mengikuti Imam Abu Hasan Al-’Asy’ari dan Imam Abu ManshurAl-Maturidi.

C.     Manhaj dan Fikrah Ahlus Sunnah wal Jama’ah

  1. Dalam Musyawarah Nasional di Surabaya tahun 2006, telah ditetapkan bahwa manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah meliputi:

Ø  Dalam bidang Aqidah/teologi, Nahdlatul Ulama mengikuti manhaj dan pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi.
Ø  Dalam Bidang Fiqih/Hukum Islam, Nahdlatul Ulama bermazhab secara qauli dan manhaji kepada salah satu Al-Madzahib Al-‘Arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali)
Ø  Dalam bidang Tasawuf, Nahdlatul Ulama mengikuti Imam al Junaid al Baghdadi (w.297H.) dan Abu Hamid al Ghazali (450-505 H./1058-1111 M.).

2.      Fikrah Ahlis Sunnah wal Jama’ah

Ø  Bidang Teologi:
-          Keseimbangan antara penggunaan dalil naqli dan dalil aqli. Dengan ketentuan dalil aqli ditempatkan di bawah dalil naqli.
-          Berusaha memurnikan aqidah dari segala pengaruh paham aqidah dari luar Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
-          Tidak tergesa-gesa dalam menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya terhadap orang yang belum dapat memurnikan aqidah semurni-murninya.

Ø  Bidang Fiqh/Syari’at
-          Pada prinsipnya, semua dasar syari’ah/fiqh adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Akan tetapi menurut paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tidak semua orang dapat memahami atau sanggup melakukan  istinbath hukum langsung dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, karena itu umat Islam diperbolehkan mengikuti salah satu dari madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali).
-          Pada masalah yang sudah jelas (sharih) dan pasti (qath’i) tidak boleh ada campur tangan pendapat akal.
-          Pada masalah dhanniyat (tidak tegas dan tidak pasti) masih dimungkinkan terjadinya perbendaan pendapat

Ø  Bidang Tashawwuf:
-          Paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah menempatkan tashawwuf sebagai alat pendukung dalam rangka mendidik dan membimbing aspek esoterik (batiniah) manusia untuk mencapai nilai-nilai ikhsan atau sikap mental spiritual yang senantiasa merasakan kehadiran Allah  dalam seluruh ruang kehidupan. Untuk mencapai tahapan itu  perlu perpaduan antara syari’ah dan tashawwuf. Karena itu, dalam hal ini NU mengambil jalan   tashawwuf yang dikembangkan oleh Abu Hamid Al-Ghazali dan Al-Qasim AL-Junaid Al-Baghdadi.
-          Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, dengan riyadhah dan mujadalah menurut kaifiyat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
-          Mencegah ektrimitas dan sikap berlebih-lebihan (al-ghuluw) yang dapat menjerumuskan orang pada penyelewengan aqidah dan syari’ah.
-          Berpedoman bahwa akhlak yang luhur selalu berada di antara dua sikap yang menghujung (tatharruf).

D.     Karakteristik/Khashaish Ahlis Sunnah wal Jama’ah

Dalam Musyawarah Nasional di Suarabaya tahun 2006, telah ditetapkan bahwa Khashaish/karakteristik doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:
1.   Fikrah tawassuthiyyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa bersikap tawazun (seimbang ) dan i’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan. Nahdlatul Ulama tidak tafrith atau ifrath.
2.   Fikrah tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara pikir, dan budayanya berbeda.
3.   Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-ishlah ila ma huwa al-ashlah).
4.   Fikrah tathowwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan.
5.   Fikrah manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul Ulama.

E.     Aktualisasi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Konteks Kekinian

                  1.      Paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah paham yang dinamik dan dapat dikembangkan dan diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
                  2.      Dalam perjalanan sejarah, Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah mempraktikkan prinsip-prinsip syura’ (musyawarah), adalah (keadilan),  musawah (egaliter), iffah (menahan diri), hikmah (kebijaksanaan) dan syaja’ah (keberanian).  
                  3.      Prinsip-prinsip tersebut berdampak pada sikap-sikap positif yang dilakukan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah dalam menyikapi berbagai persoalan. Seperti munculnya sikap tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), tawassuth (moderat), dan ta’awun (tolong-menolong).
                  4.      Prinsip dan sikap yang mengacu kepada paham  Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu juga dapat menjadi bahan untuk senantiasa mentransformasikan  paham tersebut  sesuai dengan perkembangan  percaturan kehidupan yang plural, modern dan dinamis, sehingga prinsip-prinsip dan nilai-nilai tersebut dapat diaktualisasikan dalam berbagai bidang kehidupan.***

Pokok-Poko Pikiran tentang Pemulihan Khittah NU 1926



Pokok-Pokok Pikiran
tentang Pemulihan Khittah NU 1926
Hasil Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama 

No. II/MAUNU/l404/l983 tentang 
PEMULIHAN KHITTAH NAHDLATUL ULAMA 1926

1.      Hakekat NU dan Kedudukan Ulama di da1amnya
Nahdlatul Ulama adalah Jam’iyah Diniyah Islamiyah yang didirikan pada tangga1 16 Rajab 1344 H., atau tanggal 31 Januari 1926 oleh Ulama yang berhaluan Ahlis Sunnah wal Jama' ah.
Jam’iyah ini didirikan untuk menjadi wadah bagi usaha mempersatukan diri dan rnenyatukan langkah di dalam tugas mernelihara,melestarikan, mengembangkan dan mengama1kan ajaran Islam ala ahadil madzahibil arba'ah, serta berkiblat kepada bangsa, negara dan ummat Islam.
Dengan demikian NU merupakan perkumpulan Ulama yang bangkit dan membangkitkan para pengikutnya bersama kaum muslimin di tengah lingkungan masyarakat bangsanya.
Dengan memahami hal itu maka dalam NU kedudukan Ulama merupakan sentral baik sebagai pendiri, pemimpin dan pengenda1i perkumpulan serta panutan kaum nahdliyin.
Sebagai Jam'iyah Diniyah Is1amiyah Nahd1atul Ulama selalu berpegang teguh kepada kaidah kaidah keagamaan (Islam) dan kaidah-kaidah kenegaraan dalam merumuskan pendapat, sikap dan langkah-langkahnya
2.      Makna Khittah 1926
2.1.   Khittah NU 1926 adalah landasan berfikir, bersikap dan bertingkah laku warga Nahdlatul Ulama dalam semua tindak dan kegiatan (organisasi) serta dalam setiap pengambilan keputusan.
2.2.   Landasan tersebut dapat diambil dengan mengambil inti sari dari cita-cita dasar di dirikannya NU yakni sebagai wadah perkhidmatan  yang semata-mata dilandasi niat beribadah kepada Allah SWT. Secara nyata niat khidmat tersebut terlihat pada awal berdirinya NU, diwujudkan dalam bentuk-bentuk ikhtiar: "mengadakan perhoeboengan diantara 'Oelama-oelama jang bermazhab; memeriksa kitab-kitab sebelumnya dipakai oentoek mengadjar soepaja diketahui apakah itu dari 'kitab-kitab Ahlis sunnah wal Djama'ah ataoe kitab-kitab Ahli Bid'ah; menjiarkan agama Islam berasaskan pada mazhab empat dengan djalan apa sadja jang halal; berichtiar memperbanjak madrasah-madrasah jang berdasarkan agama Islam; memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan,dengan masdjid-masdjid, soeraoe-soeraoe dan pondok-pondok, begitoe djoega dengan hal ihwalnya anak-anak jatim dan orang orang fakir miskin serta mendirikan badan badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan jang tiada dilarang oleh sjariat agama Islam" (pasal 3 Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel 'Oelama.).
Ikhtiar yang dirumuskan dalam "Statuten NU 1926 ” tersebut merupakan prioritas yang dirasakan penting untuk dilaksanakan pada saat berdirinya. Di dalamnya tercermin kuat bahwa ikhtiar yang hendak dilakukan NU berakar pada pengabdian di bidang keilmuan; kepekaan terhadap masalah sosial khususnya untuk mengatasi fakir miskin; serta keinginan yang jelas untuk memajukan bidang sosial ekonomi masyarakat,
Sejarah perkembangan NU kemudian juga menunjukkan, bahwa disamping ikhtiar-ikhtiar yang, disebutkan di atas, NU telah melibatkan diri pada perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia dalam arti yang seluas-luasnya.
Pada setiap tahapan perjuangan bangsa, NU telah melibatkan diri dengan sebaik-baiknya, termasuk ketika bangsa Indonesia bersepakat untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia serta ditetapkannya UUD 1945 menjadi konstitusi negara Republik Indonesia.
Khittah NU dengan demikian dalam artinya yang nyata merupakan pencerminan dari apa yang dapat dilihat pada niat dan dorongan berdirinya, rumusan ikhtiar yang pernah di lakukan di saat berdirinya serta pada intisari sejarah perjalanan hidupnya dalam pengabdian.
Pemulihan Khittah 'NU 1926 dengan demikian tidak lain kembali kepada semangat yang dilandasi oleh kekuatan yang mendorong didirikannya jam'iyah ini pada tahun 1926 dan tujuan yang hendak dicapainya dengan menyadari sepenuhnya terhadap setiap perubahan yang terjadi pada lingkungan masyarakat dimana NU melakukan khidmahnya.
Sesuai dengan  kaidah Fikih, bahwa setiap hukum selalu berubah menurut 'illatnya (al hukmu yaduru ma’a  illatihi wujudan wa’adaman), serta tabiatalam yang selalu berubah dan membawa kebutuhan-kebutuhan baru, maka NU selalu sadar bahwa dalam melaksankan semangat NU 1926 juga diselaraskan dengan tuntutan dan kebutuhan yang baru itu. Dengan begitu cara-cara (kaifiyah) perjuangan dan perkhidmatannya Juga selalu di sesuaikan dengan perubahan zaman tersebut. Sebagai jam' iyah diniyah, tugas NU adalah memberikan panduan dan bimbingan, bagaimana agar perubahan kebutuhan maupun kaifiyat dalam memecahkan kebutuhan tersebut, tidak mengakibatkan goncangan pada moral masyarakat dengan terus melakukan pembinaan akhlakul karimah. Dengan demikian NU disatu fihak terus melakukan perbaikan dan perubahan dalam melakukan amal bakti dan khidmahnya kepada ummat dan bangsa, di fihak lain NU terus berusaha agar menjaga masyarakat berpegang teguh pada sifat dan sikap yang mencerminkan akhlakul karimah yang bersumber dari ajaran Islam.
Untuk itu, maka dalam semangat kembali kepada Khittah NU 1926, pengabdian dan perkhidmatan NU akan berada pada jalur yang tepat, bila NU tetap menempatkan kepemimpinan, dan bimbingan ulama pada tempat yang tinggi, serta mendayagunakan para ahli yang dimilikinya untuk menjadi pengurus yng dapat mendorong khidmah nyata NU dalam memecahkan masalah-masalah ummat dan bangsa Indonesia.
Khidmah tersebut dengan demikian akan tercermin dalam kepemimpinan dan kepengurusan; dalam bentuk organisasi, dalam pemilihan prioritas kegiatan serta dalam memerankan diri di tengah perkembangan kehidupan masyarakat serta kehidupan bernegara.
3.      Konsekuensi Pemulihan Khittah
Niat untuk melakukan pemulihan Khittah NU 1926 diwujudkan dengan :
3.1. Bidang Organisasi
3.1.1        Syuriyah NU sebagai lembaga formal NU yang mencerminkan kepemimpinan ulama dalam jam’iyah NU di pertegas kembali wewenangnya selaku pengendali, pemimpin dan pengelola. NU;
3.1.2        Untuk itu ditegaskan bahwa pengurus NU di semua tingkatan adalah pengurus Syuriyah.
3.1.3        Pengurus Syuriyah dipilih oleh musyawarah Syuriyah.
3.1.4        Pengurus Pelaksana (Tanfidziyah) dipilih oleh musyawarah Tanfidziyah dengan terlebih dahulu dimintakan persetujuan terhadap calon pengurus   tersebut oleh pengurus Syuriyah.
3.1.5        Pengurus Tanfidziyah dapat diberhentikan oleh Pengurus Syuriyah bila Syuriyah berpendapat bahwa yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan jarn'iyah maupun agama, tanpa rnenunggu masa jabatannya selesai.
3.1.6        Pengurus Tanfidziyah Yang terkena tindakan tersebut dapat dan diberi kesempatan untuk membela diri pada kesempatan permusyawaatan berikutnya.
3.1.7        Pengurus Syuriyah berhak membekukan kepengurusan bila dianggap melanggar ketentuan syar'i maupun organisasi.
3.2. Mengenai NU dan Pancasila
Mengenai Pancasila, NU berpendapat bahwa sesungguhnya rumusan nilai-nilai yang dijadikan dasar negara Republik Indonesia sudah tuntas dengan ditetapkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Semua fihak harus hanya memahami (memiliki persepsi tentang ) dasar negara menurut bunyi dan maknanya yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Pembukaan, batang tubuh dan penjelasannya) itu.Kaum muslimin Indonesia bersama-sama dengan seluruh bangsa Indonesia juga memikul kewajiban memenuhi kesepakatan bersama itu. Kaum muslimin Indonesia (termasuk kaum Nahdliyin) menerima dasar negara Republik Indonesia itu, berdasar prinsip; bahwa kaum muslimin Indonesia (melalui para pemimpinya) ikut aktif dalam perumusan dan kesepakatan tentang dasar negara itu, serta karena nilai-nilai yang dirumuskan menjadi dasar negara itu dapat disepakati dan dibenarkan,menurut pandangan Islam.
Pancasila sebagai dasar negara tidak bertentangan dengan agama Islam. Karena itu jangan dipertentangkan. Nahdlatul Ulama yang berhaluan pada akidah dan syari’ah Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang sejak semula menerima Pancasila menurut bunyi dan makna yang tertuang dalam pembukaan Undang -Undang Dasar 1945 (billafdhi wal ma'nal murad), dengan rasa tanggungjawab dan tawakkal kepada Allah serta mengharap ridla-Nya, berketetapan menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyah diniyah Islamiyah berakidah Islam menurut faham Ahlus sunnah wal Jama’ah dan mengikuti salah satu madzhab empat Hanafi, Maliki, Syafi' i dan Hambali.
3.3. Hubungan Nahdlatul Ulama dan Politik
3.3.1    Hak berpolitik adalah salah satu hak asasi seluruh warganegara,termasuk warga negara yang menjadi anggota Nahdlatul Ulama. Tetapi Nahdlatul Ulama bukan merupakan wadah bagi kegiatan politik praktis Penggunaan hak berpolitik dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang ada dan dilaksanakan dengan akhlakul karimah sesuai dengan ajaran Islam, sehingga tercipta kebudayaan politik yang sehat.
3.3.2    Nahdlatul Ulama menghargai warga negara yang menggunakan hak politiknya secara baik, bersungguh-slmgguh dan bertanggungjawab.
3.4. Program yang dikembangkan
Selain hal-hal diatas, maka dalam melaksanakan prioritas program, NU akan melakukan kegiatan terutama pada bidang -bidang :
3.4.1   Kegiatan da'wah Islamiyah yang meliputi peningkatan silaturrahmi antara para ulama, pelestarian majelis-majelis pengajian, pengkajian pada masalah-masalah keagamaan yang berkembang, perluasan kiprah da' wah, pembaharuan pada metode da'wah, penertiban literatur dan media da'wah serta melakukan koordinasi pada para mubaligh dan da' i yang berada dalam NU.
3.4.2 Kegiatan pendidikan dan pengajaran yang me1iputi berbagai aspek kegiatan pendidikan baik formal, informal, maupun nonformal, baik di bidang keagamaan maupun non agama serta ketrampilan
3.4.3 Kegiatan peningkatan mabarrat/sosial ekonomi dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup warga NU maupun bangsa pada umumnya,
4.            Rekomendasi
4.1.   Untuk memperluas gagasan-gagasan dan pengertian-pengertian yang terkandung pada pokok-pokok pikiran ini, maka Musyawarah Nasional Alim Ulama NU meminta kepada PBNU agar segera menyusun suatu Tim yang bertugas untuk menyusun buku yang berisi Khitta NU secara lengkap.
Dalam penyusunan itu digunakan beberapa bahan, antara lain Qanun Asasi, statuten NU 1926, buku Khittah Nahdliyah tulisan KH Ahmad Siddiq, Pokok-Pokok Pikiran tentang Pemulihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926 karya Tim Tujuh, buku Pedoman Tabligh karya KH.Mahfudh Siddiq, Mukaddimah Program Dasar Pengembangan Lima Tahun NU, Pokok-Pakok Hasil munas Alim Ulama NU, dll.
4.2. Agar pokok-pokok pikiran mengenai khittah ini dapat dijadikan landasan dalam perubahan-perubahan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah tangga di Muktamar yang akan datang.

Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq.

Sukoreja, Situbondo:   16 R. Awwal 1404 H
21 Desember 1983 M